Sabtu, Juli 24, 2010

Anugrah Terindah

Saat-saat paling mendebarkan adalah ketika menunggui istri melahirkan. Walaupun saya tidak diperbolehkan masuk ke dalam ruang persalinan. Tetapi perasaan campur aduk terus berkecamuk dalam pikiran saya. Senang karena mendapatkan sang buah hati, was-was juga karena takut terjadi apa-apa dengan proses persalinan. Saya hanya bisa pasrah dan terus berdoa kepada Allah SWT agar diberikan kelancaran dalam proses persalinan serta ibu dan bayinya dalam kondisi sehat.

Setelah lebih kurang dua jam menunggu diluar, terdengarlah suara tangisan bayi dari dalam ruang bersalin. Karena memang yang sedang bersalin hanya istri (tanpa ada pasien lain) bisa dipastikan itu tangisan bayi kami. Alhamdulillah, puji syukur tak pernah lepas saya ucapkan kepada Allah SWT atas anugerah ini. Walaupun masih timbul pertanyaan bagaimana kondisi bayi dan ibunya. Selang waktu dua jam kami (saya, Ibu dan Ibu mertua) diijinkan untuk melihat bayi kami yang berjenis kelamin laki-laki, dengan berat badan 3700 gram dan panjang badan 50 cm. Kami beri nama anugerah terindah dari Allah SWT, Hafidz Nafsa Sujudi. Yang artinya yang memelihara nafas sujud saya. Hafidz akan terus mengingatkan kami berdua agar selalu bersyukur atas karunia yang ada. Beberapa saat setelah lahir Hafidz bukan anak yang rewel, dia tampak bingung dengan kondisi yang berbeda jika dibanding di dalam rahim ibunya.

Setelah itu saya mengumandangkan adzan di telinga kanan Hafidz dan iqomah ditelinga kirinya. Rasanya bangga, senang dan tidak percaya melihat bayi mungil di hadapan saya.

Besok paginya kami sudah diperbolehkan untuk membawa Hafidz pulang ke rumah. Saya adalah orang paling semangat dan paling protektif. Padahal terlalu protektif juga tidak baik terhadap tumbang anak. Entah kenapa sepertinya perasaan itu begitu saja tercetus. Mungkin karena ada ikatan darah membuat perasaan ingin melindungi (yang berlebihan) itu muncul.

Hari-hari berikutnya muncul sebagai hari- hari sibuk karena masih beradaptasi dengan semua keriwehan yang muncul. Mulai membiasakan dengan adanya tangis bayi dan segala macam kebutuhan bayi (misalnya nyuci popok yang sudah menjadi hobi saya kalau dirumah, memandikan bayi, merawat tali pusat bayi, de el el). Saya sangat menikmatinya walaupun jatah tidur saya banyak berkurang dan jadi amburadul. Dan yang paling terasa berat badan saya turun dua kilogram he..he...

Pada usia sepuluh hari, saya terpaksa harus meninggalkan my little angel karena memang sudah waktunya untuk mencari nafkah. Saya harus berpisah dengan jarak yang jauh diseberang pulau. Walaupun komunkasi masih bisa dilakukan dengan handphone tetapi banyak momen yang sudah saya lewatkan. Saya kangen ketika melihat wajahnya yang innocence ketika dia tertidur, mencuci popok, belanja peralatan bayi, terbangun tengah malam oleh tangisannya (sekarang digantikan oleh ketokan pintu pasien yang berobat) dan semua kegiatan mengasuh bayi.

Dana buat pulsa juga membengkak karena saya bisa telpon dua tiga kali hampir tiap hari untuk mengetahui perkembangan Hafidz. Ditambah lagi dengan anehnya jaringan disini, yang kadang meski telpon sudah tersambung tetapi tidak bisa mendengar suara dari lawan bicara. Sinyal yang tidak stabil juga menjadi tantangan tersendiri. Foto-foto di kamera menjadi obat penawar rindu dan malah membuat saya jadi pengen cepat pulang. Sabar ya nak, ayah sedang merenda masa depan buat kita semua. Semoga jalan ini dimudahkan oleh Nya. Amin.....

Tidak ada komentar: