Sabtu, Januari 17, 2009

Reflection

Pagi itu seperti biasa aku harus berangkat pagi ke tempat kerja. Di jalan yang masih sepi aku berpapasan dengan bapak tua yang tengah mengayuh sepeda (kebetulan aku juga berangkat kerja dengan sepeda). Tampak seragam yang dipakai sudah butut tetapi tidak menutupi semangat yang ditunjukkan untuk bisa mengabdi. Yup, bapak tua tersebut termasuk dalam laskar mulia yang selalu membersihkan jalanan setiap pagi. “Alhamdulillah, Bapak sudah diangkat sebagai pegawai (pegawai negeri) sekarang”, ujarnya. “ Memang dulu Bapak dan teman-teman dibayar ala kadarnya, tapi Bapak ikhlas dan bangga bisa berbuat sesuatu untuk orang lain”, kata Bapak tua itu melanjutkan ceritanya. Rasanya seperti tertohok mendengar ucapan Bapak tua itu, karena setiap hari aku selalu memikirkan apakah sebanding kerja yang aku lakukan dengan upah yang nanti aku dapatkan.

Dan selalu saja mengeluh dengan pekerjaan yang berat lah atau malah rutinitas yang itu-itu saja. Terkadang kita dengan mudahnya tergoda untuk pindah ke tempat lain dengan alasan financial yang lebih menjanjikan. Mungkin kita lebih beruntung karena memiliki kesempatan untuk bisa memilih pekerjaan. Tetapi bagaimana dengan Bapak tua tadi yang selalu berpeluh dan berangkat pagi-pagi disaat kita (mungkin) sedang tidur untuk membersihkan jalanan. Dengan upah yang tidak seberapa (sebelum beliau diangkat sebagai pegawai) namun beliau tetap setia melakukan pekerjaan itu dengan alasan mendapatkan penghasilan yang memberikan berkah buat keluarganya. Duch, bener-bener saya merasa menjadi orang kurang bersyukur atas apa yang berikan Nya.

Lain lagi dengan Ibu yang satu ini. Beliau bangun pagi-pagi dan menyiapkan makanan untuk keluarganya setelah itu harus mengayuh becak untuk menyambung rejeki. “Mbothen kesel tho Buk?, tanyaku. “Inggih kesel tho mas lah kepiye yen ora kerjo ora biso mangan”, ucapnya. “Ora opo-opo mas mancal becak sing penting dhuite halal”, melanjutkan perkataannya. “aku wis pesen karo anak-anak ku, ora usah isin yen ndheleng ibuke mancal becak. Mendhing mancal becak tinimbang nggantungne bantuan soko wong liyo. Alhamdulillah mas, meski ora tetep hasile isih cukup nggo mangan ben dino ne”, ujarnya lagi. “Subhanallah, bener-bener seorang ibu yang tegar dan pantang menyerah”, batinku. Pasti anak-anaknya bangga dengan segala perjuangan yang telah dilakukan oleh sang ibu tersebut. Bisa dibayangkan betapa sibuknya kegiatan Ibu tersebut. Pagi-pagi sudah harus bangun untuk melakukan kegiatan yang bersifat domestik. Kemudian masih harus mengayuh becak ditengah cuaca yang tidak menentu dan pulang ke rumah ketika dirasa sudah mengumpulkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keesokan harinya. Dan begitu seterusnya.

Apakah hati ini masih membatu untuk bisa menyadari agar selalu bersyukur pada Nya. Sosok Bapak dan Ibu tadi telah menjadikan cermin agar diri kita bisa berkaca. Berkaca tentang betapa banyak nikmat yang diberikan Nya kepada kita walaupun kita sering lupa akan nikmat itu. Ada satu pertanyaan yang harusnya kita tanyakan pada diri kita sendiri sebelum mata ini terpejam (tidur), “Sudahkah kita mensyukuri nikmat yang diberikan Nya hari ini?”.

Tidak ada komentar: