Sabtu, Januari 24, 2009

Laskar Pelangi


Sebenarnya sudah terlambat (banget) kalau saya baru berkomentar tentang film Laskar Pelangi. Karena film ini udah bulan November tahun lalu di release di Jakarta. Dan saya bukan termasuk orang yang beruntung bisa mendapatkan tiket untuk bisa menonton film tersebut. Untuk kota kecil seperti tempat saya tinggal (Lumajang) sudah bisa mendapatkan tontonan yang berkualitas seperti film ini di bioskop sudah sangat membantu.

Sebetulnya dulu (banget) ada sekitar empat gedung bioskop di Lumajang tetapi saying karena terkena imbas efek dari VCD beberapa tahun yang lalu membuat pengusaha gedung bioskop berguguran satu persatu. Dan sempat bertahan dua gedung bioskop disini dengan masing-masing dua studio tetapi sayang akhirya tumbang juga. Setelah sekian lama “mati suri” akhirnya muncul juga bioskop yang mulai beroperasi tahun lalu meskipun hanya ada satu studio. Tetapi sudah cukup menghibur untuk warga Lumajang, akhirnya bisa nonton film di bioskop.

Kembali ke film Laskar Pelangi, jujur saja saya diajak oleh istri untuk menonton film itu. Mengingat spirit pendidikan yang ada dalam film itu sejalan dengan profesi istri. Dan semoga juga semangat yang diperlihatkan Bu Muslimah bisa menular ketika dia sedang mengemban tugasnya. Jujur, pada saat melangkahkan kaki ke gedung bioskop sebenarnya agak under estimate bakal sedikit yang menonton. Mengingat hari itu Minggu malam, yang biasanya jarang banget ada orang yang mau nonton. Ternyata, dugaan saya salah. Meski hari Minggu malam ternyata banyak banget keluarga yang membawa putra-putrinya untuk menoton film tersebut.

Menurut saya film itu luar biasa tanpa mengesampingkan segala kekurangan yang ada di film tersebut yang katanya tidak sesuai dengan novelnya. Buat saya yang memang belum membaca novelnya, komentar itu nggak begitu ngaru dengan penilaian saya terhadap film itu sendiri. Karena menurut saya yang terpenting adalah esensi dari film itu sendiri sudah dapat dikomunikasikan dengan baik oleh sang sutradara terhadap penonton. Sehingga penonton serasa mendapatkan “sesuatu” ketika selesai menonton film tersebut.

Mengingat durasi film yang dua setengah jam membuat sang film maker harus berhati-hati dalam menampilkan alur yang akan disampaikan dalam film tersebut. Dan menurut saya mas Riri berhasil dalam menampilkan gambar yang rapi ditambah dengan pemandangan-pemandangan indah Belitong (sesuai penulisan dalam film). Dan ini juga bisa dijadikan promosi untuk daerah tersebut dalam menjaring wisatawan baik local ataupun mancanegara (mengingat film ini juga diikutkan dalam beberapa festival film international). Dan semoga saja ada produser film yang nanti akan melakukan pengambilan gambar di Lumajang sehingga secara tidak langsung bisa memberikan gambaran tentang kondisi alam disini. I wish…

Kembali lagi ke film Laskar Pelangi, banyak banget adegan-adegan yang menyentuh dan membuat penonton harus rela meneteskan air mata. Contohnya, adegan saat Lintang yang smart harus memutuskan berhenti sekolah karena menjadi tulang punggung keluarga. Bener-bener banyak isak tangis yang terdengar dalam gedung bioskop. Apalagi ketika lambu bioskop dihidupkan, pasti banyak yang matanya merah karena meneteskan air mata. Ada satu statement yang menyentuh banget (menurut penilaian saya) ketika Kepala Sekola SD Muhammadiyah Gantong mengatakan kepada anggota Laskar Pelangi, “Orang hidup itu harus banyak memberi dari pada menerima”. Dan saya merasa tersentil banget karena selama ini selalu saja banyak meminta dari pada member kepada orang lain.

Dengan kata lain saya bener-bener mendapatkan “sesuatu” itu ketika saya melangkahkan kaki ini keluar dari gedung bioskop.

Sabtu, Januari 17, 2009

Ekspresi


Wajah-wajah itu tampak tegang ketika melihat pengumuman yang terpampang di depan kantor pemerintahan. Berdesakan untuk bisa meringsek masuk mendekat ke papan pengumuman. Tampak sekali H2C dari wajah mereka. Berbagai rona ekspresi wajah tergambar dari sekumpulan orang tersebut. Ada yang tersenyum karena nama mereka ada di daftar pengumuman, ada yang rona kecewa walaupun mereka mencoba untuk menyembunyikannya. Semua ekspresi bercampur dalam kumpulan orang-orang yang memang mengharapkan suatu pekerjaan yang layak. Tampak seorang perempuan mencoba menenangkan sahabatnya (mungkin?) yang sedih. Lamat-lamat aku dengar, “Don’t be sad, there will be a lot of opportunity out side. One will be for you.” Aku jadi merasa mendapatkan dorongan semangat walaupun kata-kata itu bukan untukku. Itu gunanya sahabat yang selalu ada untuk kita. Tiba-tiba saja teringat nama-nama sahabat yang selama ini jarang banget ku dengar kabarnya. Mungkin ini saat yang tepat untuk menjalin kembali komunikasi yang selama ini terputus. Terima kasih telah memberikan “sentilan” yang “sakit” di pagi hari.

Kegagalan memang tidak selalu menyenangkan untuk dihadapi. Apalagi ketika kita menginginkan sesuatu ternyata sesuatu itu bukan untuk kita. Sedih, udah pasti. Bagaimanapun kegagalan merupakan pelajaran yang tidak menyenangkan untuk dihadapi. Tetapi tetap harus dihadapi. Toch, tidak semua yang kita inginkan bisa kita miliki. Mungkin kita belum mengerti sepenuhnya bahwa yang kita inginkan itu tidak cocok untuk kita. Kalaupun dipaksakan tidak akan membawa kemaslahatan. Mungkin nanti kita baru mengerti dan ngeh kenapa hal ini tidak bisa kita dapatkan.

Perlu proses yang tidak singkat untuk bisa mengerti kenapa Tuhan tidak memberikan kita apa yang kita inginkan. Dan dalam proses pencaria jawaban tersebut akan banyak hal yang bisa kita raih. Terpuruk, kecewa itu wajar jika sesuatu yang kita inginkan tidak bisa kita dapatkan. Tetapi jangan terlalu lama untuk meratapi kegagalan yang telah menimpa kita. Ada waktunya untuk kembali bangkit dan menyusun strategi lain agar tujuan yang lain bisa tercapai. Saya jadi ingat kata-kata yang pernah say abaca dari Helen Keller; when one door of happiness closes, another opens, but often we look so long at the closed door that we do not see the one which has opened for us. Nah, sekarang sudah saatnya untuk bangkit dan bersiap untuk melangkah ke target selanjutnya. Sudah harus seharusnya kita menyadari untuk tidak terpekur terlalu lama memikirkan sesuatu yang memang bukan untuk kita. Terima kasih Tuhan untuk pelajaran yang sangat berharga dalam setiap kehidupan dari semua rasa senang, kecewa, marah dan ketidaknyamanan. Ini yang harus kita lalui untuk menjadi sosok yang lebih matang ke depannya.

Reflection

Pagi itu seperti biasa aku harus berangkat pagi ke tempat kerja. Di jalan yang masih sepi aku berpapasan dengan bapak tua yang tengah mengayuh sepeda (kebetulan aku juga berangkat kerja dengan sepeda). Tampak seragam yang dipakai sudah butut tetapi tidak menutupi semangat yang ditunjukkan untuk bisa mengabdi. Yup, bapak tua tersebut termasuk dalam laskar mulia yang selalu membersihkan jalanan setiap pagi. “Alhamdulillah, Bapak sudah diangkat sebagai pegawai (pegawai negeri) sekarang”, ujarnya. “ Memang dulu Bapak dan teman-teman dibayar ala kadarnya, tapi Bapak ikhlas dan bangga bisa berbuat sesuatu untuk orang lain”, kata Bapak tua itu melanjutkan ceritanya. Rasanya seperti tertohok mendengar ucapan Bapak tua itu, karena setiap hari aku selalu memikirkan apakah sebanding kerja yang aku lakukan dengan upah yang nanti aku dapatkan.

Dan selalu saja mengeluh dengan pekerjaan yang berat lah atau malah rutinitas yang itu-itu saja. Terkadang kita dengan mudahnya tergoda untuk pindah ke tempat lain dengan alasan financial yang lebih menjanjikan. Mungkin kita lebih beruntung karena memiliki kesempatan untuk bisa memilih pekerjaan. Tetapi bagaimana dengan Bapak tua tadi yang selalu berpeluh dan berangkat pagi-pagi disaat kita (mungkin) sedang tidur untuk membersihkan jalanan. Dengan upah yang tidak seberapa (sebelum beliau diangkat sebagai pegawai) namun beliau tetap setia melakukan pekerjaan itu dengan alasan mendapatkan penghasilan yang memberikan berkah buat keluarganya. Duch, bener-bener saya merasa menjadi orang kurang bersyukur atas apa yang berikan Nya.

Lain lagi dengan Ibu yang satu ini. Beliau bangun pagi-pagi dan menyiapkan makanan untuk keluarganya setelah itu harus mengayuh becak untuk menyambung rejeki. “Mbothen kesel tho Buk?, tanyaku. “Inggih kesel tho mas lah kepiye yen ora kerjo ora biso mangan”, ucapnya. “Ora opo-opo mas mancal becak sing penting dhuite halal”, melanjutkan perkataannya. “aku wis pesen karo anak-anak ku, ora usah isin yen ndheleng ibuke mancal becak. Mendhing mancal becak tinimbang nggantungne bantuan soko wong liyo. Alhamdulillah mas, meski ora tetep hasile isih cukup nggo mangan ben dino ne”, ujarnya lagi. “Subhanallah, bener-bener seorang ibu yang tegar dan pantang menyerah”, batinku. Pasti anak-anaknya bangga dengan segala perjuangan yang telah dilakukan oleh sang ibu tersebut. Bisa dibayangkan betapa sibuknya kegiatan Ibu tersebut. Pagi-pagi sudah harus bangun untuk melakukan kegiatan yang bersifat domestik. Kemudian masih harus mengayuh becak ditengah cuaca yang tidak menentu dan pulang ke rumah ketika dirasa sudah mengumpulkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keesokan harinya. Dan begitu seterusnya.

Apakah hati ini masih membatu untuk bisa menyadari agar selalu bersyukur pada Nya. Sosok Bapak dan Ibu tadi telah menjadikan cermin agar diri kita bisa berkaca. Berkaca tentang betapa banyak nikmat yang diberikan Nya kepada kita walaupun kita sering lupa akan nikmat itu. Ada satu pertanyaan yang harusnya kita tanyakan pada diri kita sendiri sebelum mata ini terpejam (tidur), “Sudahkah kita mensyukuri nikmat yang diberikan Nya hari ini?”.

Gaya Hidup

Sebenarnya keinginan untuk bisa lebih dibanding orang lain merupakan satu hal yang bisa memotivasi kita bisa bekerja secara optimal. Tetapi jika hal itu hanya menjadi satu indicator untuk bisa menumpuk materi sepertinya menjadi kurang bijaksana. Kadang setiap orang khususnya lelaki, memiliki satu barang yang orang lain tidak punya bisa dijadikan salah satu bentuk kesuksesan. Oke, mungkin ini satu yang wajar tetapi bisa menjadi tidak wajar jika kita sebenarnya tidak begitu membutuhkan barang tersebut hanya bertujuan sebagai prestise saja. Mungkin ini juga dipengaruhi oleh pesatnya informasi baik dari dunia elektronik ataupun media cetak. Sepertinya ada satu stigma yang muncul bahwa kita bakal ketinggalan jaman kalau tidak memiliki barang A, misalnya.

Tetapi biasanya itu tidak bertahan lama, karena pemikiran seseorang bakal berubah suatu saat nanti. Bisa dikatakan bahwa itu hanya trend sesaat saja. Contohnya, jika seorang pria sudah berumah tangga. Seketika itu juga berubah (mungkin ada beberapa orang tetap keukeuh dengan gaya hidup tersebut) karena prioritas bukan hanya kesenangan pribadi tetapi lebih ke arah kebutuhan rumah tangga apalagi jika sudah memiliki buah hati. Yang harus kita ketahui adalah ada beberapa orang yang mengalihkan segala permasalahan yang ada dengan berbelanja secara agresif. Menurut para pelaku ini bisa menyelesaikan segala ketegangan yang ada di pikirannya. Padahal secara nalar penyebab masalah belum terselesaikan. Memang setiap individu memiliki cara yang unik dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang menimpa dirinya. Alangkah lebih bijak jika kita memilih jalan penyelesaian masalah yang konstruktif.

Pernah satu waktu saya bertemu dengan teman yang sedang menjelaskan gadget terbarunya yang bagus banget. Tetapi setelah saya lihat sebenarnya dia memiliki gadget yang sama hanya seri nya saja yang berbeda. Apakah kita harus memiliki setiap seri gadget keluaran terbaru agar bisa dianggap GAUL dan nggak GAPTEK. Mungkin ini saatnya kita menyalahkan gencarnya promosi yang ada di media bahwa gadget adalah bagian dari gaya hidup, gaya hidup seperti apa? Apakah kita harus terseok-seok mengikuti gaya hidup orang lain dengan segala cara agar kita bisa diterima di lingkungan mereka? Padahal masih banyak kebutuhan primer yang harus kita penuhi. Jangan sampai ada penyesalan yang kita rasakan setelah kita membeli sesuatu. Jadi kita harus cerdas dalam menggunakan setiap sen uang kita, apalagi di jaman yang (masih) susah dengan ketidakstabilan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika.

PREMANISME

Sepertinya menjadi gebrakan baru dari pihak Kepolisian untuk memberangus premanisme di Indonesia. Ada baiknya juga mengingat kita (saya pribadi khususnya) merasa insecure kalau bepergian ke tempat-tempat yang baru. Saya juga memiliki cerita yang memang dialami sendiri oleh orang terdekat saya, ketika saya mengira bahwa kota yang dulunya aman sekarang menjadi “kurang aman”. Terbukti denga berbagai berita criminal yang selalu muncul di Koran atau surat kabar. Atau memang tidak ada berita yang lain yang bisa dibagi dengan pembaca selain berita seputar kriminal itu sendiri.

Pengalaman ini saya bagi untuk sekedar membuat kita semua semakin waspada bahwa yang namanya kejahatan bias terjadi dimana saja termasuk di kota kecil yang terkenal aman sebelumnya. Teman saya ini mengambil uang di ATM dengan jumlah yang sebenarnya nggak seberapa. Karena memang bertepatan dengan Malam Minggu jadi di pusat kota banyak banget anak-anak muda lagi kongkow-kongkow. Mungkin sang criminal ini sudah membuntuti teman saya semenjak dia keluar dar ATM. Dan ketika teman saya ini mau berbelok ke halaman rumahnya (lokasi kejadian tepat di depan rumah) tiba-tiba ada sepeda motor dengan dua orang diatasnya menarik paksa tas yang dipegang oleh teman saya tersebut. Kalau dilihat dari waktu kejadian masih belum terlalu malam sekitar pukul delapan. Ketika kami melaporkan kejadian tersebut ke pihak Kepolisian ternyata memang penjambretan atau pengambilan paksa ini lagi marak. Sempat curiga juga bahwa ini efek dari diberangus nya preman-preman di kota besar dan membuat mereka mengalihkan target atau sasaran mereka ke kota-kota atau wilayah lain yang lebih kecil.

Tetapi jika dillihat selang beberapa hari kemudian tampaknya pihak Kepolisian sangat tangap dengan bergabai macam kejadian criminal tersebut. Terbukti di Koran sudah ada beberapa orang yang ditangkap karena dicurigai melakukan tindakan yang berkaitan dengan premanisme. Bahkan yang sekarang juga lagi trend adalah penipuan dengan system GENDAM. Seakan-akan korban tidak sadar dan menyerahkan sejumlah uang kepada si pelaku. Ketika korban tersadar pelaku sudah melarikan diri. Ketika salah seorang pelaku gendam tersebut ditangkap ternyata berasal dari luar daerah. Sepertinya ada benarnya jika saya beropini kalau pelaku criminal semakin terdesak dan melakukan tindakan tersebut diluar wilayah tempat mereka beroperasi. Memang sudah saatnya untuk memberikan rasa aman untuk masyarakat. Dan bukan hanya di kota-kota besar saja tetapi di kota kecil pun layak untuk dilakukan pengamanan sebagai suatu bentuk tanggung jawab Negara terhadap masyarakatnya.

New Phase


Terus terang saya bukanlah orang yang “ndhableg” kadang malah bisa dibilang serius makanya ketika stress datang kadang serius banget berpikir untuk menyelesaikan permasalah an tersebut sampai-sampai yang lain tidak mendapatkan porsi di pikiran saya. Jujur, itu memang kelemahan saya dan syukur pasangan juga sudah mengerti. Mungkin bisa dibilang itu merupakan kelemahan laki-laki beda banget dengan perempuan yang bisa bekerja dengan berbagai macam pekerjaan atau bahasa kerennya multitasking job.

Saya jadi ingat ketika saya harus memasuki fase baru dalam kehidupan saya. Jujur, saya nervous banget takut salah mengucapkan ijab karena grogi dilihat orang yang sebegitu banyaknya. Cuman berharap kepada Nya agar diberikan kelancaran. Melihat orang yang mondar-mandir malah bikin pusing dan badan “nggregesi” dan sudah capek mondar-mandir ke toilet karena diare. Sempat berpikir sepertinya lebih parah nervous nya dari sekedar interview pekerjaan. Fuihhh… this is worse than job interview. Ya meski sudah sering ketemu sama Bapak (mertua) tapi sekarang ini hitungannya lain. Ini lebih dari sekedar ketemu, tetapi harus melakukan ikatan janji dan siap-siap “digojlog” oleh orang-orang yang datang. I must ready for it.

Ini benar-benar beda. Bukannya saya tidak berpengalaman melihat ijab untuk prosesi pernikahan teman-teman saya tetapi waktu itu bukan saya yang berada di posisi mereka. Saya cumin ha..ha..hi..hi… sambil sesekali menggoda teman yag kebetulan akan dinikahkan. But everything change now, I’m on his position. Dan harus siap dengan semua konsekuensinya. Mungkin benar apa yang diceritakan teman-teman itu. This is about taking the new life and responsibility. So, I must ready for it. Dan tetep harus siap dengan konsekuensi yang ada.